PT Pertamina (Persero) telah merombak jajaran petinggi anak usahanya yaitu Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang berdomisili di Singapura, bahkan fungsinya juga tidak lagi mengimpor bahan bakar minyak (BBM) ke dalam negeri. Namun, perombakan ini belum cukup memuaskan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Faisal Basri.
"Kami pada 8 Maret lalu datangi kantor Petral. Saya, Pak Menteri ESDM Sudirman Said, Direktur SDM Pertamina (Dwi Wahyu Daryoto), dan Dirut ISC (Integrated Supply Chain) Daniel Purba," ungkap Faisal kepada detikFinance kala ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (20/3/2015).
Faisal mengatakan, blusukan ke Singapura tersebut untuk mengecek kondisi Petral pasca perombakan. Sekaligus mencari data dan infromasi terkait impor minyak.
"Data dan fakta yang didapat membuat Pak Menteri sampai geleng-geleng," ujarnya.
Ia mencontohkan, salah satu hal yang masih belum beres adalah masalah impor BBM. Kebutuhan impor BBM jenis Premium per bulan mencapai 7 juta kiloliter (kl).
"Tapi 6 juta kl itu sudah ditutup sama para geng itu (mafia minyak). Praktis yang diurus para direksi yang baru sekarang hanya 1 juta kl per bulan," kata Faisal.
Yang lebih membuat Menteri ESDM Sudirman Said geleng-geleng, biaya yang harus dikeluarkan sebagai kompensasi mencopot Direktur Utama Petral terdahulu Bambang Irianto mencapai Rp 13 miliar lebih.
"Tahu nggak, yang buat kita lebih kaget lagi? Uang pisah Dirut Petral yang kemarin itu lebih dari US$ 1 juta (sekitar Rp 13 miliar). Pak Dwi (Direktur SDM Pertamina) kan tahu semua gaji pegawai Pertamina, tapi dia tidak tahu gajinya Dirut Petral. Pas diperlihatkan kaget, gajinya Dirut Petral itu US$ 44.000 (Rp 572 juta) per bulan take home pay, kalau pokoknya US$ 41.000 (Rp 533 juta). Kalah jauh gajinya Dirut Pertamina yang hanya sekitar Rp 200 juta/bulan take home pay," jelas Faisal.